PDM Kabupaten Garut - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Garut
.: Home > Sejarah

Homepage

Sejarah

 Muhammadiyah di kota Garut secara resmi berdiri pada tanggal  30 Nopember 1923 dengan Surat Ketetapan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta nomor 18 sebagai Pimpinan Muhammadiyah Cabang (PMC) Garut. Tercatat beberapa nama sebagai perintis pendirian Muhammadiyah di kota Garut adalah H. M. Djamhari, Wangsa Eri, Masjamah, dan H.M. Gazali Tusi yang telah mengusahakan pendiriannya sejak awal tahun 1922 berbarengan dengan upaya pendirian Muhammadiyah di Jakarta yang dirintis oleh Kartosudharmo. Menurut Djarnawi Hadikusumo “Dalam tahun 1921 diresmikan berdirinya cabang Srandakan  dan Imogiri, keduanya terletak di daerah Yogyakarta. Lalu Blora, Surabaya, dan Kepanjen, Tahun 1922 berdiri cabang Surakarta, Garut, Jakarta, Purwokerto, Pekalongan dan Pekajangan” (H.Djarnawi Hadikusumo, TT, Hal 78).

Meskipun tahun resmi berdirinya cabang Muhammadiyah Garut baru tercatat pada tahun 1923, namun dapat dipastikan kalau ajaran dan pemahaman keagamaan sebagaimana paham agama yang dikembangkan oleh K.H.Ahmad Dahlan telah terpatri di sebagian kecil penduduk kota Garut beberapa tahun sebelumnya, hal ini dapat dipahami mengingat beberapa hal seperti :

1.    Di Garut telah berdiri sebuah Madrasah ibtidaiyyah bernama Al Hidayah berangka tahun 1919. Istilah ibtidaiyyah  adalah “Istilah yang biasa dipakai oleh madrasah – madrasah milik Muhammadiyah saat itu, untuk membedakan madrasah yang dikelola oleh organisasi lain, seperti PSII dengan istilah Madrasah Islamiyyah” (Lukman, 1996 ; 16).

2.    Madrasah itu  berdiri di atas tanah wakaf  dari keluarga Masjamah yang merupakan salah seorang perintis Muhammadiyah dan pada tahun 1923 secara resmi tanah dan bangunannya diserahkan kepada Muhammadiyah.

3.    Madrasah itu terletak di kampung Lio sebutan untuk sebuah  perkampungan pengrajin batu-bata yang sejak awal perkembangan Muhammadiyah tempat itu dijadikan pusat kegiatan Muhammadiyah di Garut. Kampung Lio juga berdekatan dengan kampung Pasar Baru dan Ciledug yang merupakan kampung  - kampung basis bakal anggota Muhammadiyah.

4.    Nama “Al Hidayah” pada waktu itu adalah nama sebuah kelompok pengajian di Garut yang  sebenarnya adalah nama lain untuk gerakan Muhammadiyah yang pada saat itu pergerakan Muhammadiyah baru terbatas di keresidenan Yogyakarta sesuai dengan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda Nomor 81 tahun 1914. Sempitnya izin yang diberikan, tidak mempersempit gerakan Muhammadiyah. Pada saat itu K. H. Ahmad Dahlan menganjurkan agar gerakan Muhammadiyah di luar kota Yogyakarta menggunakan nama lain seprti Nurul Islam di Pekalongan, Sidiq Amanah Tabligh Fathonah di Solo, al Munir di Ujung Pandang dan lain – lain. Izin diperbolehkannya Muhammadiyah bergerak di luar Yogyakarta sendiri baru keluar pada tanggal 2 September  1921.

Perintisan Muhammadiyah di kota Garut banyak dilakukan oleh para pendatang dari luar kota Garut. Salah seorangnya adalah H. Djamhari putra Dasiman yang berasal dari kota Kudus. Dasiman mengasingkan diri ke tanah Pasundan (Garut) untuk menghindari fitnah dari pemerintah Belanda  sesudah perang Diponegoro. Menurut Kunto Sofianto mereka datang dan menetap di Garut  sekitar awal tahun 1900-an. Bahkan kelompok pengajian al Hidayah yang menjadi cikal bakal berdirinya Muhammadiyah sendiri pada saat itu banyak diikuti oleh para pedagang batik dan kain bodasan di lingkungan pasar baru, pajagalan dan Ciledug yang merupakan domisili para pedagang pendatang itu. Fenomena penyebaran gerakan Muhammadiyah di kota Garut ini nampaknya memiliki kesamaan dengan yang terjadi di daerah – daerah lain. Penyebaran Muhammadiyah sedikit banyak terjadi melalui interaksi para pedagang. Konon, masuknya Muhammadiyah ke Minangkabau juga melalui jalur perdagangan. Bermula dari perkenalan para pedagang Minangkabau yang berada di Pekalongan dengan Kyai Dahlan yang sering melakukan tabligh di daerah itu. Interaksi ini membawa pengaruh yang sangat besar dan akhirnya faham keagamaan yang disampaikan oleh Kyai Dahlan terbawa ke ranah minang.

Demikian juga dengan perintisan Muhammadiyah di Garut. H. Djamhari adalah seorang pedagang batik yang sering mengambil barang dagangannya ke Yogyakarta. Dalam perjalanannya itu ia sangat tertarik dengan madrasah Muhammadiyah di Suronatan yang begitu maju dan banyak memiliki siswa. Teringat dengan madrasah al Hidayah yang dikelolanya di Garut memotivasi untuk mengenal lebih jauh terhadap pergerakan Muhammadiyah. Pada perkembangan selanjutnya, ia berkenalan dengan Tobamin (Ketib Amin) yang tiada lain adalah K. H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah yang dikaguminya. Menurut catatan Acep Muharram yang melakukan wawancara dengan beberapa anggota keluarga H. Djamhari, K. H. Ahmad Dahlan pernah berkunjung ke Garut bersama Kyai Fachrudin untuk memperkenalkan gerakan Muhammadiyah.

 Tidaklah mengherankan kalau Muhammadiyah di awal penyebarannya lebih nampak sebagai gerakan kaum kelas menengah dari pada sebagai organisasi keagamaan yang lazimnya didominasi oleh kaum santri. Catatan sejarah Muhammadiyah mencatat bahwa pada tahun 1916, sekitar 47 % anggota Muhammadiyah berasal dari kalangan saudagar/wiraswastawan mengungguli kalangan pegawai/pamongpraja maupun ulama dan profesi lainnya.

Interaksi antara para pedagang ini biasanya kemudian ditindaklanjuti dengan kegigihan para ulama dan mubaligh. Demikian juga yang terjadi di Garut. Selain ditunjang oleh para pedagang yang banyak berkorban dengan harta kekayaannya, pengaruh para ulama dalam menanamkan pemahaman keagamaan pun tidak kalah besar pengaruhnya. Diantara mereka tercatat nama nama K.H.Badjuri, K.H.Kafrawi dan K.H.Gazali Tusi sebagai corong terdepan penyebaran Muhammadiyah di Garut.

Dari kota Garut, Muhammadiyah merangkak menyentuh beberapa kota yang berdekatan. Salah satu kota yang mendapat pengaruh besar penyebaran Muhammadiyah dari Garut adalah Tasikmalaya. Di kota ini Muhammadiyah mulai tercium keharumannya di tahun 1935. Beberapa orang yang tercatat memiliki banyak jasa masuknya Muhammadiyah di Tasikmalaya adalah Hidayat, Moh. Fadjri (Ketua PMC Garut), A. S. Bandy,  dan Sutama yang di kemudian hari nama terakhir ini dtetapkan sebagai Ketua PMC pertama di Tasikmalaya. Dari Tasikmalaya, Muhammadiyah kemudian mencium Kota Ciamis, Kuningan, dan Cirebon. Para Mubaligh Cirebon, kemudian mengepakan sayapnya ke arah Indramayu dan Majalengka.

Di Jakarta, sebagaimana perkiraan  sementara ini cabang Muhammadiyah berdiri tidak selang lama waktunya dengan pendirian cabang di Garut. Tokoh yng tercatat sebagai perintis Muhammadiyah di tanah Batavia ini adalah Kartosudharmo. Dari Jakarta Muhammadiyah dibawa ke Kabupaten Bogor oleh Asep Mujtaba alumnus perguruan Al Irsyad Jakarta yang juga kenal dekat dengan Yunus Anis.

Kalau Asep Mujtaba membawa Muhammadiyah ke kampung halamannya karena pengaruh Yunus Anis, maka bisa diperkirakan persahabatan kedua alumnus al Irsyad itu sudah terjalin antara tahun 1924 – 1926, sebab di tahun 1926 itulah Asep Mujtaba merintis Muhammadiyah di Jasinga,  kemudian merambat ke daerah terdekatnya Leuwiliang yang berdiri tahun 1928. Selain menyentuh wilayah Bogor, dari Jakarta pemahaman Muhammadiyah merambat juga ke Cianjur dan Sukabumi yang diperkirakan sudah berdiri secara resmi pada tahun 1930.


Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website