PDM Kabupaten Garut - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Garut
.: Home > Berita > KETULUSAN DALAM BERMUHAMMADIYAH

Homepage

KETULUSAN DALAM BERMUHAMMADIYAH

Jum'at, 23-03-2018
Dibaca: 1320

 

 

 

"KETULUSAN DALAM BERMUHAMMADIYAH"

Oleh : Agus Rahmat Nugraha, M.Ag., M.Pd

(Wakil Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Garut)

Wahai para orang tua ajari kami ukhuwah, didiklah kami Bermuhammadiyah

 secara tulus dan benar.

Rasanya tidak berlebihan jika saya memulai tulisan dengan sebuah harapan seperti yang dikemukakan di atas. Fokusnya hanyalah keinginan linearitas antara semangat ingin ikut membesarkan Muhammadiyah dengan realitas factual mengenai adanya bolong menganga yang terus membesar dalam tubuh pemrsyaarikatan ini, yakni soal kebersamaan, perkara bagaimana energy dan potensi yang ada tetap dalam lingkaran kemaslahatan, dan tentang bagaimana jiwa menjadi kaya melalui organisasi tercinta ini.

Kita harus loyal dalam berMuhammadiyah, namun jangan fanatic (apalagi fanatisme buta). ada perbedaan tipis antara loyalitas dengan fanatisme. namun dikarenakan tipis perbedaannya, seringkali orang yang loyal malah disangka fanatic terhadap Muhammadiyah, atau tentu sebaliknya. Loyal itu artinya dalam berMuhammadiyah harus punya komitmen terhadap gerakan. Kalau sudah bagus gerakannya kita tingkatkan, kalau masih belum bagus kita benahi bersama. Walaupun ada organisasi lain yang lebih menggoda dan menjanjikan, hanya dikarenakan loyalitaslah kita istiqomah dalam berorganisasi.

Lain halnya dengan fanatic, fanatic itu bisa cinta buta dan dibutakan karenanya akhirnya berorganisasi secara sporadis dan membabi buta, tanpa arah dan visi yang jelas. Ada penyakit yang menggerogoti jiwanya, terutama merasa paling benar sendiri (truth claim), yang lain pasti salah (secara ekstrim cenderung  melakukantafkiiri), tidak mau berdialog dengan modernitas,  enggan belajar kepada orang lain, serta ujung-ujungnya merendahkan orang lain. Dan pada gilirannya orang fanatic  biasanya tidak disukai oleh yang lain.

                     Dalam konteks inilah, saya melihat ada satu problematika besar yaitu sikap tidak propoarsional plus minor profesional dalam ikut serta mengelola organisasi besar ini, yang diantaranya sangat menguat adalah sikap fanatisme seperti yang dijelaskan di atas. Oleh karena itu ada yang mendesak (urgen) untuk segera digeser, yakni pergeseran paradigma (Shift paradigm) dan dari bagian inilah kita bisa memulai(Starting of point) sebuah perubahan dan perbaikan. Pergeseran cara pandang plus cara berorientasi dalam berMuhammadiyah menjadi sebuah keniscayaan di  saat ketidakseimbangan mendera sebagian para pelaku, pelangsung, dan penyempurna cita-cita Muhammadiyah ini. Problem manifest yang dimaksud dalam konteks ini adalah bagimana kita dapat mengembangkan sikap saling dan menekan sikap paling, sehingga kita terhindar dari konditetasabahum jami’a wakulubuhum satta (bersama tetapi hatinya terpisah satu sama lain). Ada kepura-puraan (artifisial) dan hanya formalistic, dan inilah penyakit yang berat jika terus tidak segera diobati, yakni fals believe (alias kemunafikan).

                     Dengan melihat persoalan di atas, maka dibutuhkan jiwa kepemimpinan yang penuh ketulusan, terutama di saat-saat menghadapi situasi yang abnormal dan kasuistik yang sering dianggap berat dalam mengelola organisasi ini.  Dalam situasi ini, maka niyyat dan kesungguhan kerja (kayfiyyat) menjadi garansi menuju tujuan dan cita-cita berorganisasi (ghoyyat). Yang dibutuhkan tentu saja adalah kepercayaan (amanah), sebab amanah bisa menjadi energy tahrier yang bisa membebaskan segala bentuk tirani nafsu negative untuk diarahkan kepada nafsu positif yang bisa menggerakan segala potensi organisasi kewilayah yang benar secara fungsional. Amanah yang ditunaikan akan melahirkan kewibawaan (trust) sebagai alat pompa untuk mengembalikan segala kekuatan organisasi ke poros sejatinya.

                     Secara factual kita bersyukur masih banyak orang yang peduli untuk melanjutkan usaha memajukan Muhamamdiyah ini, maka yang diperlukan sesungguhnya adalah bagaimana merawat semangat ini agar tetap konstruktif (membangun tanpa merusak). Namun tak dipungkiri pula  masih banyak pekerjaan rumah yang harus dievaluasi, diantaranya kemandekan banyak program yng tak bisa berjalan sesuai harapan. Padahal pada fase memasuki abad ke-2 ini, Muhammadiyah mencanangkan gerakan pencerahan berupa pengembangan yang sudah ada agar  kemaslahatannya dapat di rasakan lebih meluas dan terus membuat karya baru sebagai bagian dari spirit harakah islamiyyah. Banyak gerakan yang hanya mengandalakan gerak individual, padahal yang dibutuhkan adalah gerak sinergi dalam jiwa kolektif kolegial yang selalu baharu. Seringpula dikeluhkan perkaderan tidak berjalan, sebab energy seringkali tidak menuju kearah gerak perkaderan yang ditutup sendiri oleh kesibukan urusan lain yang sering dianggap lebih penting, padahal terkadang hanya kegiatan rutinitas administrative saja. Apalagi hambatan yang seringkali menutupnya adalah konflik yang dilestarikan, secara perlahan muncul gang (clan) dalam tubuh Muhammadiyah atas nama angkatan, alumni, kekuatan pemilik modal, dan nostalgia masa kejayaan. Bukankah ini ashobiyah modern yang menggurita jika tetap dibiarkan? tentu tidak hanya ini masih banyak degradasi nilai yang nyaris kita sama-sama abai untuk menuntaskannya.

                     Kita butuh tranformasi nilai, dimana tranformasi leadershif adalah factor pemandunya (unfying factor) untuk secara bertahap segera diimplementasikan. Sebelum memulai merumuskan langkah strategisnya, maka mari kita menyadari bahwamasa lalu adalah pelajaran, masa depan adalah harapan, dan masa kini adalah masa-masa beramal dan berjuang. Ingat!Kebenaran itu berat, namun lezat akibatnya, sedangkankebathilan itu ringan, namun buruk akibatnya. betapa banyak syahwat sesaat yang mewariskan kesedihan berkepanjangan (Abdullah bin Mas’ud).

                     Kepemimpinan dalam Muhammadiyah hakekatnya adalah pengejawantahan langsung dari nilai-nilai dan norma Islam secara integralistik atau bersifat substantive. Dalam alam pikiran Muhammadiyah, maka konsep amanah dan uswatun hasanah adalah pirantinya. Amanah dikaitkan dengan kedudukan dan fungsi jabatan dalam kepemimpinan Muhammadiyah, sedangkanuswatun hasanah dikaitkan dengan identifikasi diri dari para pemimpin yang muaranya pada figur Muhammad SAW sebagai suri tauladan.  Dalam culture Muhammadiyah muncul adagium “jangan mengejar jabatan”, tetapi “apabila diserahi tugas/jabatan janganlah menolak”. Oleh karenanya, sebagai catatan mari kita berpikir keras bahwa setiap arena permusyawaratan hendaknya didekati sebagai sesuatu yang wajar dan tidak usah berlebihan, sehingga tidak menjadi terlalu mahal ongkos (cost) nya. Banyak biaya, tenaga, pikiran, dan waktu yang digunakan, tapi terkandang moral digadaikan, etika saling menghormat dialfakan, marwah diri dianggap sepele, silaturahiim diputus-putus untuk akhirnya menjadi benar-benar terputus, naudzubillahimindzalik.

                     Kepemimpinan harus kembali kepada acuan dasar, yakni nilai-nilai akhlakul kariimah, spirit berkomitmen dan konsistensi antara nilai dan tindakan, serta keseimbangan (terbuka tapi tidak kebablasan, demokratis tapi tetap takdzim dalam hubungan otoritatif prosedur orgaisasi). Dan dalam konteks “perahu besar dengan retak disana-sini” diperlukan, kepemimpinan yang visioner, humanis, solidarity maker (membangun keberrsamaan),risk taker (berani beresiko), decisive (tepat, cermat, dan tegas mengambil keputusan), problem solver (bagian dari penyelesaian masalah, bukan tambah masalah), dan morality commited (berkomitmen kepada moral kebenaran). (Disarikan dari 7 kriteria kepemimpinan Muhammadiyah yang dilansir dari Hasil Tanwir Muhammadiyah Tahun 2015).

                     Dengan melihat bentangan masalah dan potensi yang besar dalam kilasan di atas, maka sesungguhnya yang dibutuhkan saat ini dan kedepan adalah tim yang solid yang siap berkorban memimpin Muhammadiyah secara totalitas. Merekalah yang akan mengajak semua keluarga besar dan kendaraan besar ini  untuk menjalankan dua misi, yakni : pertama,mengembangkan sikap saling(meringankan, memudahkan, mengunjungi, mendo’akan, memafkan, memajuka, dan mengembangkan lid-lidnya)dan kedua,menekan sikap paling (hebat, senior, yunior, berpengalaman, kenal dengan tokoh, dan jiwa adigung adiguna-kesombongan). Dengan dua misi inilah, insyaAllah akan hadir pada gilirannya etos berkemajuan, berupa semangat pencerahan, dinamik konstruktif, keunggulan, bahkan daya tawar-daya ajak untuk mengajak semua umat manusia dapat mengenal cita-cita Muhammadiyah, tertarik untuk membangun jejaring bersama dengan Muhammadiyah dan akhirnya mereka benar-benar tertarik kepada Muhammadiyah karena keunggulan akhlak kariimahnya.

                     Sebagai penutup catatan tulisan ini, sadarilah bahwa “orang berjiwa besar “adalah mereka yang berbicara ide-ide, sementara “orang yang berjiwa sedang” selalu berbicara peristiwa-peristiwa, dan adapun “orang yang berjiwa kecil” adalah mereka yang berbicara kesalahan-kesalahan.”  Nasrun minallahi wa fathun qorrib, wabasyril mukminin.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: Organisasi



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website